Kamis, 17 April 2014

KISAH UMAR BIN KHATTAB RA.




            Di dalam kehidupan ini kita senantiasa menngambil i’tibar, contoh dan teladan dari orang-orang sebelum kita, itu sebabnya kepada baginda nabi kita Muhammad saw. Allah swt. Menceritakan cerita para nabi sebelum beliau. Allah berfirman “demikianlah Kami ceritakan kepada mu wahai Muhammad, sebagian dari kisah para rasul-rasul sebelum kamu, yang dengan itu akan memperkuat hati mu, meneguhkan keyakinan mu dan memantapkan pendirian mu”. Inilah manfaat belajar dari sejarah, jadi jangan kita baginda nabi sendiri pun diceritakan sejarah para nabi sebelum beliau yang dimusuhi oleh umatnya, yang dicaci-maki oleh kaumnya, yang terusir dari kampung halamannya, bahkan sampai ada yang terbunuh oleh umatnya. Itu semua merupakan i’tibar untuk memantapkan langkah mu, meneguhkan keyakinan mu dan menguatkan pendirian mu menghadapi perjuangan ini.
            Sehubungan dengan itu al fakir ingin menyampaikan satu cuplikan kecil dari kehidupan seorang sahabat utama baginda rasul yaitu saydina Umar ibn Khattab ra. Beliau adalah Umar bin Khattab bin Nufain bin Abdul Uzza dari suku   Quraisy golongan Bani Adl. Perawakannya kekar, tinggi dan gagah melambangkan sifatnya yang pemberani, tegas dan tidak kenal takut pada siapapun. Sebelum mendapat hidayah Umar bin Khattab termasuk berdiri dibarisan orang-orang yang memusuhi umat Islam. Ia terperangkap dalam tradisi jahiliyah. Dimana gemar berperang dan bermabuk-mabukan juga merupakan hal-hal yang pernah dilaksanakan dalam kehidupannya sebelum beliau masuk dalam ke agama Islam. Oleh karena itu dalam kehidupan beragama hidayah merupakan sesuatu yang penting, bagaimanapun banyaknya dosa dan kesalahan yang telah dilakukan oleh seseorang tidak seharusnya menyebabkan ia putus asa dari rahmat Allah. Sebaliknya bagaimanapun banyaknya kebajikan dan kebaikan yang sudah dikerjakannya tidak perlu membuatnya berbesar hati, puas, bangga apalagi menjadi lalai karenanya, sebab kita belum tau bagaimana ujung perjalanan dari kehidupan kita ini.
            Kisah Umar bin khattab masuk Islam pun merupakan peristiwa yang menarik. Pada suatu hari dengan pedang terhunus, Umar bin Khattab menuju Darur Arkom tempat dimana baginda nabi biasa berkumpul dengan para sahabat. Melihat mukanya yang beringas, mata yang nanar, orang sudah menyangka dan mengerti ini tentu akan menjadi pembunuhan. Dalam perjalanan menuju Darur Arkom, Umar bertemu dengan Nu’aim bin Abdullah. Nu’aim bertanya “Ya Umar, mau kemana ente?” “Mau membunuh itu, si murtad itu” “ si murtad yang mana?” “ yang mana lagi? Itu. Yang memecah belah kita. Yang menghina berhala-berhala kita. Yang menjelek-jelekkan nenek moyang dan keturunan kita. Siapa lagi kalau bukan Muhammad.” Kata Nu’aim “Umar, ngga salah?” “Tidak salah lagi” “Salah Umar” “Salah kenapa?” “Apa kamu ngga malu? Kamu mau pergi membunuh Muhammad, sementara adik mu sendiri Fatimah, dia sudah termasuk salah seorang pengikut Muhammad.” Mendengar ini, muka yang tadinya memang sudah marah, sudah marah dan merah, tambah jadi kelam. Bukan main mangkelnya Umar bin Khattab. Orang lain dia musuhi, orang lain dia kejar-kejar, ini adiknya sendiri menjadi pengikut baginda nabi. Tidak jadi menuju Darur Arkom, dia berangkat kerumah adiknya Fatimah. Adapun di rumah Fatimah sedang berkumpul, Fatimah, suaminya Sa’id bin Zaid dan seorang sahabat Habab ibnul Arots. Mereka sedang membaca Quran. Waktu itu Quran belum lagi dijilid seperti zaman sekarang, jadi masih merupakan suhuf atau lembaran-lembaran saja. Diketuk pintu, ya tentu tidak mengucapkan salam kerena dia belum Islam. ‘tok.. tok.. tok..’ “Siapa diluar?” “Umar!” mendengar suaranya saja, ini sahabat yang namanya Habab Ibnul Arots sudah lari kebelakang pintu. Sambil komat-kamit baca doa mohon diselamatkan oleh Allah. Adapun Fatimah yang sedang memegang suhuf, lembarang tulisan al-quran itu, menyembunyikan suhuf itu dibelakang bajunya. Umar masuk, “Fatimah!” “Saya bang” “Apa benar berita yang saya dengar?” “Berita apa itu bang?” “Bahwa kau sudah masuk Islam?” “Bang? Andai kata Muhammad memang benar, bagaimana?” “Sudahlah jangan berbelit-belit, jawab saja kau masu Islam, benar atau tidak?” “Iya!” begitu dikatakan ‘iya’ tangannya langsung melayang, menampar muka adiknya ini, sehingga mengalir darah dari hidungnya. Suaminya Sa’id bin Zaid yang mencoba melindungi istrinya dipegang lehernya dibanting, diduduki dadanya. ‘Oo, ini jawarah ini’. Namun pada saat sedemikian, suara mkebenaran terpantul dari mulut Fatimah, adik dari Umar bin Khattab ini. Umar! Apakah engkau memukul orang yang bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad rasulullah? Apakah engkau menganiaya seseorang yang terpanggil untuk mengikuti kebenaran? Manusia macam apa engkau Umar?! Sodara, memang dia orang keras tapi hatinya mudah menerima kebenaran sehingga mendengar kalimat adiknya ini tercenung dia sejenak, melongok, bengong kata anak sekarang. Ini kalau tidak dengan keyakinan yang mantap, tidak mungkin adik saya ini berbicara seperti ini. Umar? Mengapa engkau memukul orang yang bersaksi bahwa tiada tuhan melainkan Allah dan Muhammad rasulullah?  Mengapa engkau pukul orang yang mengikuti kebenaran hidayah dari Allah?. Begitu yakindan mantapnya walaupun ditengah situasi yang sangat menakutkan. Siapa yang tidak takut orang Quraisy berhadapan dengan Umar bin Khattab yang dikenal sebagai singa padang pasir pada waktu itu. Malahan dia termasuk salah seorang jagoan, di tradisi masyarakat jahiliyah itu ada satu pasar yang namanya pasar ukas, tiap tahun dipasar itu diadakan pesta, pertama pertandingan syair, jadi penyair pada waktu itu jadi kebanggaan. Syair-syair yang menang pada waktu itu digantung di dinding Ka’bah. Jadi setiap suku akan bangga kalau mempunyai ahli syair yang hebat. Lalu diadakan juga perlombaan balap kuda, memanah, termasuk gulat. Umar ini tiap kali pertarungan pasti menang, belum pernah ada yang berhasil mengalahkan dia. ‘Jawarah’ . mendengar adiknya begitu mantap hatinya, apalagi adiknya berkata begitu, suhuf lembaran yang tersembunyi dibelakang bajunya tersembul “Apa yang kau sembunyikan dibalik baju mu ini?” “Suhuf” “Apa suhuf itu?” “Lembaran Al-quran” “Coba saya lihat?” “Enggak boleh” “Kenapa?” “Kamu kotor, orang kotor tidak boleh memegang Al-quran”  “Saya mau lihat?” “Enggak boleh. Kalau kamu mau lihat, mandi dulu” Diturutinya permintaan adiknya itu. Lalu diambilnya suhuf tadi, dia baca. Kebetulan ayat yang dibacanya, ayat pertama dari surah Thaha yang berlanjut dengan ayat empatbelas pada surah yang sama. Dia baca “Bismillahi rahmani rahim. Thaha. Tidaklah Aku turunkan Al-quran ini untuk bikin sukar manusia. Melainkan merupakan pengingat bagi orang-orang yang takut kepada Allah.” Lalu pada ayat ke empatbelas “Sesungguhnya Aku lah Allah. Tidak ada tuhan melainkan Aku. Maka hendaknya hanya kepada Ku lah kamu menyembah. Dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. Sesungguhnya kiamat itu pasti akan datang, yang sengaja waktunya tidak Kami beritahukan kepada kamu semua untuk Kami balas segala setiap orang yang apa saja yang telah mereka lakukan dalam kehidupan dunia ini”. Setelah membaca ayat ini gemetar tangannya. Ah, ini sih ngga main-main ini. Ini belum pernah saya baca ajaran yang semacam ini. Tidak patut orang yang mempunyai kitab suci semacam ini dimusuhi. Ini sesuatu yang benar. Tergetar jiwanya. “Hai, Fatimah beritahu aku dimana keberadaan Muhammad?” “Saya tidak akan memberitahu kamu” “Dimana?!” “Saya tidak akan memberi tahu. Lebih baik kamu bunuh saya kalau memang maksud mu mau mencelakakan Muhammad” “Sama sekali saya tidak akan mencelakakan dia, Fatimah. Kasih tau saja dimana dia?!” “Darur Arkom”. Bergegas dia menuju Darur Arkom.
            Didalam nabi memang sedang kumpul dengan para sahabat. Termasuk ada saydiana Hamzah yang juga terkenal sebagai jawarah juga. Diketuklah pintu. “Siapa diluar?” “Umar”. Didalam ini geger sebagian sahabat, umar datang ini pasti sebagai bencana. Umar datang, kalau istilah kampung, wah keroklah ni urusan. Tapi baginda nabi menenangkan mereka, “Tenang, mudah-mudahan ada hikmahnya.” Saydina Hamzah tampil “Bukakan dia pintu. Kalau niatnya baik kita terima kalau niatnya tidak baik, saya paling depan”. Di bukakan pintu. Begitu dibukakan pintu, Umar masuk merangkul baginda nabi kemudian dengan tersendat “Ashaduallah ilaha illallah wa ashaduanaka muhammad ya rasulullah”. Sahabat takbir semua. ALLAHU AKBAR. ALLAHU AKBAR. Kegembiraan meliputi suasana ketika itu, kenapa karena sebelumnya dikala Umar belum masuk Islam, dia merupakan ganjalan yang paling dikhawatirkan oleh umat Islam. Setelah dia masuk Islam, jelas merupakan suatu keuntungan yang sangat besar dam dia tertarik kepada Islam bukan karena bujuk rayu orang, tidak karena diberikan harta, tidak karena diiming-imingi oleh kedudukan tinggi tapi karena kebenaran, hidayah menembus hatinya melalui wasillah ayat dalam surah Thaha yang dibacanya melalui suhuf yang dipegang oleh adiknya tadi. Sejak saat itu berubah 180% Umar bin Khattab ra, tetapi tetap dengan sifatnya keras, tegas dan tidak pernah kenal takut kepada siapapun. Cuma pada sebelum Islam, dia kerasnya kepada Islam setelah dia masuk Islam muter arah kepada siapapun yang memusuhi Islam dia bersikap keras, tegas dan tidak pernah kenal takut. Bahkan setelah beliau masuk Islam, suatu hari ketika di Darur Arkom kumpul-kumpul yaitu karena nabi belum berdakwah secara terbuka karena pengikut masih sedikit. Saydiana Umar usul “Ya rasul, bukankah kita ini berdiri diatas sesuatu yang benar? Bukankah hidup kita, mati kita untuk melaksanakan sesuatu yang benar?” “Betul ya Umar. Demi Allah. Umar, sesungguhnya kamu dan kita semua berdiri diatas kebenaran. Hidup ataupun mati”. Setelah dapat jawaban seperti ini Umar masuk kepada tujuan pembicaraannya. “Kalau memang begitu ya rasul, kalau memang kita yakin kita berdiri diatas kebenaran, kita hidup diatas kebenaran, kita matipun karena memperjuangkan kebenaran, kenapa harus bersembunyi-sembunyi? Demi Allah ya rasul, tuan harus menyampaikan Islam ini secara terbuka dan kami akan mendampingi tuan dengan segenap jiwa dan raga”. Sekali masuk Islam ngga tanggung-tanggung. Yang seperti Umar ini yang kita perlukan sekarang ini. Begitu masuk Islam ngga tanggung, seluruhnya jiwa dan raganya masuk Islam. Beliau yang pertama kali mengajukan ide kenapa harus dakwah sembunyi ya rasul wong kita berdiri diatas kebenaran, memperjuangkan segala sesuatu yang haq kalau pun kita mati kita mati dalam membela kebenaran, kenapa mesti harus sembunyi-sembunyi? Mulai sekarang mari mulai keluar ya rasul, saya akan dampingi tuan, nyawa saya taruhannya.
            Selalu dia di tempat-tempat dia melakukan maksiat sebelum dia Islam, selalu dia kunjungi satu per satu sampai dia berkata tidak ada tempat sampai saya melakukan kesalahan sebelum saya Islam yang harus saya tutupi dengan kebajikan setelah saya berIslam sekarang ini. Bahkan ada satu riwayat menjelaskan beliau itu yang tinggi badannya, kekar perawakannya gemetar orang menghadapi dia, tapi beliau sendiri gemetar kalau sudah mendengar ayat-ayat Allah. Sehingga ada satu riwayat menjelaskan saydina Umar itu setelah masuk Islam kalau shalat kadang-kadang bila menoleh kekanan beliau senyum, bila menoleh kekiri beliau menangis berurai air mata. Ada sahabat bertanya “Ya Umar? Kenapa bila menengok kekanan kau senyum kekiri kau menangis?” “Itulah saya ingat begitu jahilnya saya sebelum saya Islam. Adapun bola saya menoleh kekanan saya tersenyum teringat betapa dulu saya membuat berhala dari korma, saya tumpuk-tumpuk saya susun begitu rupa, setelah saya sembah saya makan itu korma. Gagah betul saya waktu itu, sampai tuhan pun saya makan. Adapun kalau saya menoleh kekiri teringat putri kesayangan saya yang terbawah oleh tradisi jahiliyah, takut menanggung aib, merasa malu mempunyai anak perempuan sampai dia terkubur hidup-hidup, berurai air mata saya mengingat semua itu padahal nabi sudah memeberikan jaminan”. Sebab jangan lupa orang kafir masuk Islam, dalam Islam itu dihitung dari bayi lagi, dari nol, itulah untungnya. Jadi misalnya sudah enampuluh tahun, dari kecil sampai enampuluh tahun kafir, umur enampuluh satu masuk Islam nah sejak umur enampuluh satu itulah yang dihisab oleh Allah. Enampuluh tahun kebawah gratis, bersih, pemutihan. Istimewa betul tapi lalu jangan diniatin, ah gua kafir aja ah, nanti sudah tua-tua mau giliran mati baru masuk Islam. Nah itu diniatin lain ceritanya, ini yang karena faktor hidayah. Nah cintanya kepada baginda nabi sangat luar biasa, dalam setiap pertempuran beliau selalu di front terdepan. Bahkan demikian cintanya, sampai dimana ketika hari dimana baginda nabi wafat, disampaikan berita wafat nabi kepada Umar ini, “Ya Umar baginda nabi sudah wafat” “Kamu ngomong apa?!” “Baginda nabi sudah wafat”. Bukan sedih malah nyabut pedang, keluar matanya melotot “Siapa yang bilang Muhammad mati saya tebas batang lehernya”. Begitu cintanya beliau kepada baginda nabi, sampai-sampai tidak menerima kalau nabi wafat. Taruhlah tidak bisa mati bersamaan, bolehlah mati beriring-iringan kali saja maksudnya. Dicabut pedang, kelayapan kemana-mana, “Ayo siapa yang ngomong Muhammad mati saya tebas batang lehernya”. Sampai bertemu dengan saydina Abu Bakar ra, di tempat orang banyak, saydina Abu Bakar yang bijaksana ini pidato “Wahai manusia, barang siapa yang menyembah Muhammad, maka Muhammad sudah mati. Tetapi barang siapa yang menyembah Allah. Allah akan hidup selamanya dan tidak akan pernah mati”. Mendengar pidato ini saydina Umar sadar, bahwasanya yang tidak pernah bisa mati itu ya cuma Allah. Bagaimanapun agungnya baginda nabi, besarnya baginda nabi, tinggi akhlak dan budi pekertinya nabi, cintanya beliau kepada nabi toh nabi manusia dan manusia, harus mati. Kemudian dibacakan surah Ali Imran ayat 144 “Muhammad tidak lain daripada manusia, telah datang kepadanya rasul, apakah jika ia mati engkau kembali menjadi murtad atau mundur kebelakang”. Mendengar ayat ini dibacakan, saydina Umar sadar, berurai air matanya, menangis dalam kesedihannya. Ini cintanya yang demikian tinggi kepada baginda rasulullah saw. Begitulah, seluruh kesalahan yang dia lakukan pada saat sebelum dia masuk Islam, berusaha dia tutupin dan dia tebus dengan segala bentuk kebaikan, pengabdian, perbuatan soleh setelah dia masuk Islam. Sehingga diajarakan oleh baginda nabi, “Bertaqwalah kamu kepada Allah. Dimanapun saja kamu berada”. Kata baginda nabi. Jadi taqwa tidak kenal tempat, dimanapun saja kamu berada bertaqwalah kepada Allah. Di rumah, taqwa. Di pasar, taqwa. Di kantor, taqwa. Ditengah orang banyak, taqwa. Pada waktu sendirian, taqwa. “Bertaqwalah kamu kepada Allah. Dimanapun saja kamu berada”. Jangan taqwa pakai tempat, di masjid, taqwa, di kantor, nyolong. Itu tidak haisuma kunta yang diajarkan oleh nabi, “Diamanapun kamu berada bertaqwalah kamu kepada Allah”. Dan “Iringi perbuatan mu yang salah dengan kebaikan”. Jadi suatu saat terselip kita berbuat salah, cepat iringi dengan kebaikan dengan harapan kebaikan yang kita kerjakan akan menutupi dosa yang terselip kita lakukan. Ngomongin orang, astghfirullah wal azim, banyak istighfar, istighfarnya mudah-mudahan bisa nutupin dosa karena ngomongin orang. Tapi jangan lalu tambal sulam, ngomongin orang, istighfar, terus ngomongin lagi, istighfar lagi, itu tentu tidak bisa dilalukan dengan cara begitu. Barang kali terselip pernah mengambill harta orang tanpa alasan yang haq, imbangi dengan rajin sadaqah misalnya. Barang kali pernah menyakiti hati orang, imbangi dengan perbuatan yang bisa menyenangkan hati orang lain. Itu namanya mengimbangi perbuatan yang bersifat salah dengan kebajikan. Ini yang dilakukan loeh saydina Umar. Setiap pelosok hampir dia datangi, tempat-tempat diamana dia pernah melakukan kesalahan sebelum masuk Islam disana dia tegakkan kebajikan dan kebaikan, kegagahannya, keperkasaannya, keberaniaannya semuanya sudah bulat-bulat diwakafkan untuk kepentingan Islam. Saudara hadirin yang saya hormati, diperlukan orang-orang yang mempunyai keberanian semacam saydina Umar, berani karena panggilan hidayah, bukan berani babi, berani babi, berani juga babi, cuma nyeruduk, artinya berani yang tanpa pertimbangan. Berani tanpa pertimbangan yang pada akhirnya akan menyulitkan kita sendiri. Beliau gagah, beliau berani, beliau punya kekuatan, beliau punya wewenang dan itu dimanfaatkannya untuk menjadi backing daripada baginda nabi kita Muhammad saw. “saya minta maaf ya rasul. Hai rasul, keluar! Sampaikan dakwah secara terbuka, saya akan mendampingi tuan. Jika ada yang ganggu tuan saya yang paling depan”. Backing, backing yang mendampingi rasul untuk menyampaikan risalah Islam ini.
            Nabi bersabda “Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik, karena dengan ini kau bisa mengambil hati orang”. Dalam hadits lain dikatakan “Kamu tidak akan menyenangkan orang banyak dengan harta mu, tapi kamu bisa ambil hati mereka dengan budi perkerti yang luhur dan muka yang manis. Dengan harta belum tentu kita bisa menyenangkan semua orang, tapi budi pekerti yang luhur, muka yang manis itu yang bisa membuat engkau menyenangkan orang banyak. Setelah baginda rasul wafat, pernah ketika berkumpul saydina Abu Bakar berkata kedapa saydina Umar “Ya Umar, saya bai’at kamu untuk menjadi Khalifah” jawab beliau “Saya lah yang akan membai’at tuan” “Tapi anda lebih utama dari saya Umar?” “Keutamaan saya, saya akan berikan kepada tuan untuk mendukung kekhalifahan tuan”. Disini kelihatan wataknya yang tidak ambisius, gagah, berani, perkasa tapi tau diri, tidak nyelonong, tidak mrnggunakan kekuasaannya, kegagahannya untuk maksud yang sewenang-wenang. Oleh karena itu, setelah saydina Abu Bakar wafat, beliau dilantik menjadi khalifah keluarlah pidatonya yang terkenal “Hai manusia, aku telah dipilih menjadi pemimpin kamu, padahal aku bukanlah orang yang terbaik diantara kamu, kalau tidaklah aku melihat keutamaan, keteguhan yang dapat melindungi kalian, berat rasanya aku memikul amanah ini. Sebab apa? Alangkah beratnya menunggu perhitungan di akhirat nanti terhadap Umar”. Ini yang menjadi motifnya memegang jabatan khalifah. Sungguh berat bagi Umar menunggu saatnya perhitungan, sehingga kalau bisalah, jadi Umar bin Khattab saja jangan jadi khalifah kalau bisa, tapi semua umat sudah terlanjur memilih. Sehingga benar pada suatu hadits nabi pernah mengajarkan “Jangan memberikan suatu jabatan kepada orang yang memintanya”. Sebab kalau orang sudah meminta jabatan, apalagi kalau sudah pakai jilad-jilad, pakai upeti-upeti tentu ada tendensinya, ada batu dibalik udang. Kalau udang dibalik batukan tidak kelihatan, tapi kalau batu dibalik udang kelihatan betul itu. Ada maunya, ambisinya, jangan memberikan suatu jabatan kepada orang yang memintanya. Seakan dibatinnya saydina Umar menyesali, kenapa Umar tidak jadi Umar saja malah menjadi khalifah, alangkah berat perhitungan buat saya di akhirat nanti. Setelah jadi khalifah sebagai satu i’tibar, saya akan mengungkapkan beberapa sifatnya yang menonjol untuk pelajaran pada kita semua.
            Pertama sifatnya terhadap keluarga setelah beliau menjadi khalifah. Kedudukan keluarga Umar bin Khattab bukan kedudukan keluarga istimewa, itu ditanamkan betul kepada keluarganya. Lalu jangan karena bapak mu khalifah, lalu mentang-mentang anak khalifah kamu bisa dapat fasilitas, kamu bisa berbuat semau-mau mu, kau harus punya tanggung jawab dan beban moril, memberikan contoh yang lebih baik kepada rakyat, ini yang ditekankan kepada keluarganya. Kalau beliau mau mengeluarkan undang-undang, undang-undang itu terlebih dahulu dibicarakan kepada keluarganya, kumpul anak-anaknya, ini akan ada undang-undang begini, siapa diantara kalian yang mau mentaati persilahkan, yang tidak pun persilahkan. Tapi saya ingatkan, kalau ada dari keluarga Umar yang melanggar peratuaran yang saya keluarkan ini, saya akan menghukumnya dua kali lipat karena dia keluarga saya. “Menghukumnya dua kali lipat karena dia keluarga saya”. Jadi mentang-mentang anak babe lalu kebal hukum, tidak. Siapa diantara kalian yang melanggar peraturan ini, akan aku hukum dua kali lipat karena dia keluarga ku. Berwibawa sekali ini, dijaga betul keluarganya. Suatu hari beliau datang ke rumah anaknya Abdullah bin Umar, ketika masuk dilihatnya Abdullah bin Umar sedang makan daging. Makan daging, melihatnya, merah muka Umar “Heh, mentang-mentang anak khalifah ya? Mentang-mentang anak amirul mukminin ya kamu makan daging? Liat tuh rakyat kita masih banyak yang kelaparan, makan roti keras”. Padahal itu halal, sesuatu yang diperoleh dengan usahanya sendiri, tetapi begitu hati-hatinya Umar untuk menjaga pandangan orang, keluargakhalifah merupakan beban moril sebab akan menjadikan contoh oleh rakyatnya. Lain saat beliau pergi ke suatu pasar, disitu dilihat sapinya gemuk-gemuk tempat lain sapinya kurus-kurus. Ditanya “Ini yang gemuk-gemuk sapi siapa? Sapi Abdullah bin Umar”. Sapi anaknya. “Panggil Abdullah bin Umar suruh kesini”. Datang anaknya, “Abdullah bin Umar, bagaimana ceritanya sapi-sapi ini?” “Begini aba, dahulu pakai uang saya, saya beli sapi, kurus-kurus. Lalu saya rawat, saya beri upah orang untuk merawat sapi-sapi itu, tapi sekarang dia sudah menjadi gemuk, akan saya jual dan keuntungannya merupakan sesuatu yang halal.” “Subhanallah” kata Umar “Kau ini anak amirul mukminin. Jual sapi mu, ambil modalnya, untungnya masukkan ke baitul mall, urus kepentingan umat Islam”. Dia tidak mau anaknya terlibat bisnis mendompleng kekuasaan ayahnya. Lalu mentang-mentang anak khalifah segala macam bisnis, lancar. Orang takut, karena apa? Anak babe. Ada lagi, pada waktu pembagian harta ghanimah, putri beliau yang namanya Hafsah, ini adalah isteri baginda nabi, meminta bagian, kaum kerabat, ayah ini kerabat khalifah, kitalah dulu. “Kerabat? Kalau kau kerabat ku maka jatahmu nanti dari ayah mu, harta ini masih banyak dibutuhkan oleh orang-orang islam, nanti belakangan kalau ada sisanya”. Belakangan kalau ada sisanya? Itu terhadap keluarga-keluarganya.
            Lalu apa sifat-sifat yang menonjol dari kepemimpinannya? Pertama kesederhanaannya. Beliaulah satu-satunya khalifah, amirul mukminin, setingkat presiden kalau sekarang,  yang punya jubah cuma dua dan yang yang satupun punya anaknya, tambelan lagi. Pernah shalat jum’at terlambat, beliau naik mimbar sebelumnya minta maaf dulu “Saudara-saudara minta maaf saya terlambat nungguin baju kering”. Seorang khalifah nungguin baju kering, sederhana dalam kehidupannya. Mari kita ambil satu cerita lagi. Pada saat beliau jadi khalifat, yang diangkat menjadi gubernur di Mesir adalah Amer bin As. Amer bin As, hidupnya lebih mirip kaisar, istananya besar, pakaiannya bagus-bagus. Pikiran yang paling menggangu Amer bin As, disebelah istananya ini ada gubuk, reot, kepunyaan orang yahudi lagi. “Ah, tidak pantas sekali, masa disamping istana gubernur ada gubuk reot, orang yahudi lagi yang punya. Ini mesti.. ah, sudah, bikin saja rencana, panggil dinas tata kota, bikin rencana disini mau dibikin masjid proyek negara. Bikin gambarnya, susun anggaranya, tender”. Si yahudi yang punya gubuk reot dipanggil “Yahudi!” “Ada apa, pak?” “Kamu tau tidak? Itu kamu punya gubuk kena proyek” “proyek apa pak?” “Kami mau bikin masjid besar disitu dan tidak sesuai ada gubuk reot disamping tempat gubernur” “Jadi maksu bapak?” “Gubukmu sama tanahnya mau saya bebaskan, saya beli” “Tidak mau pak, saya tidak mau jual” “Saya bayar dua kali lipat” “tidak mau” “tiga kali lipat!” “enam kali lipat juga tidak mau pak” “wong saya dari muda, peras keringat, Cuma segitu-gitunya tempat itu pak walaupun Cuma gubuk reot dan tanahnya sedikit, tapi makmur saya pak”. “Ah, ini yahudi sudah kelewatan juga” akhirnya turun perintah “Yasudah, kalau dia tiadak taat perintah, gusur saja”. Digusur, yahudi ini berurai air matanya. “Ah, begini jadi rakyat kecil, sudah jatuh ketimpa tangga pula. Tapi pikir-pikir Amer bin As kan bukan yang paling atas, iyakan Cuma pejabat masih ada atasannya lagi, lapor ah lapor”. Yahudi ini berangkat ke Madinah, bayangkan dari Mesir ke Madinah. Disepanjang jalan dia berpikir, berpikir membanding-banding “Kalau gubernurnya saja istananya begitu mewah, apalagi pemimpinnya. Kalau gubernunya saja galak main gusur apalagi khalifahnya dan saya bukan orang Islam apa ditanggapi jika mengadu?”. Berangkat dia sambil harap-harap cemas. Sampai dipintu kota Madinah, iya temui orang yang lagi tidur dibawah pohon kurma. “Selamat siang pak?” “Heh, ada apa?” “Anu pak” “Anu apa?” “Mau lapor” “Lapor apa?” “Bapak tau khalifah Umar bin Khattab?” “Tau” “Istananya dimana pak?” “Istananya diatas lumpur” “Pengawalnya pak? Banyak?” “Banyak” “Siapa pak” “Yatimpiatu, janda-janda tua, orang-orang miskin, orang-orang lemah itu pengawalnya” “Pakaian kebesarannya, apa sutra atau apa pak?” “Pakaian kebesarannya malu dan taqwa” “Saya tidak ngerti pak” “Itulah Umar bin Khattab” “Lalu orangnya sekarang dimana pak? “Didepan ente”. Rupanya yang dia tanya itulah orangnya. Gemeter yahudi ini, keringatnya bercucuran. Coba, istananya diatas lumpur, sebab beliau berprinsip, bagaimana saya bisa menghayati nasib rakyat kalau saya tidak merasakana apa yang mereka rasakan, bagaimana saya tau sakitnya lapar kalau saya belumpernah kelaparan. “Kamu dari mana?” “Dari Mesir pak” “Ada apa?” “Mau laporan, gubernur bapak yang di Mesir yang bernama Amer bin As” “Kenapa?” “Main gusur aja pak” “Ceritanya?” “Iya, dia mau bangun masjid, kebetulan diarea itu, saya punya tanah sama guguk ya segitu-gitunya, saya tidak mau dibeli, digusur pak, saya mau mencari keadilan” “em, begini, kamu liat tempat sampah itu?” “liat pak” “disitu banyak tulang, coba kamu ambil satu tulang unta bawa kesini”. Bingung si yahudi, “pak, saya kesini mau cari keadilan, kalau di Mesir juga banyak pak” “sudahlah pokoknya kau ambil saja tulang itu” diobrak-abriknya dapetlah satu tulang unta terus dikasih ke saydina Umar lalu digaris luruslah oleh beliau ”nah, ini kau bawa kepada Amer bin As”. Makin bingung itu yahudi, bawa tulang Cuma digaris. “nanti saya ngomong apa pak” “sudahlah kasih saja”. Pulang dia, sampai di Mesir, “tuan gubernur?” “ada apa?” “saya baru saja menghadap khalifah, kemudian dia ngasih ini”. Dikasih tulang, Amer bin As melihat tulang ada garis lurus dengan ujung pedang, gemeter dan keringat dingin lalu dia langsung menyuruh panggil kepala proyek “hei, proyek batal, masjid tidak jadi didiriin, itu gubuk yahudi diriin lagi”. Ini yahudi makin bengong, ini gubernur hanya dapet tulang begitu takutnya. “ada apa sebenarnya tuan gubernur?” “kamu tau? Ini nasehat pait buat saya dari amirul mukminin Umar bin Khattab, seolah-olah ia bilang ‘hai Amer bin As, jangan mentang-mentang lagi berkuasa ya, pada suatu saat kamu akan jadi tulang-tulang kaya begini. Maka mumpung kamu masih hidup dan berkuasa, berlaku lurus dan adillah kamu seperti lurusnya garis diatas pedang ini. Lurus adil jangan bengkok, sebab jika kamu bengkok maka nanti aku akan luruskan pakai pedang ku’. Siapa yang tidak takut digituin, sampai akhirnya kata si yahudi “pak berarti Islam begitu adil ya, kalau begitu tanah saya..” “mau kamu jual?” “bukan saya jual, tapi saya kasih sajalah dan gubuk-gubuknya ambil sajalah”. Masuk Islam si yahudi ini, oleh karena keadilan dari Umar bin Khattab. Begitulah kesederhanaan hidupnya. Sampai yang ironi betul, pernah Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Talha dan Zubair kumpul mendengar berita bahwa saydina Umar ini punya hutang. Bayangkan seorang khalifah untuk melangsungkan hidupnya sampai punya hutang. Padahal baitul mall berada dibawah kekuasaannya. Berunding Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Talha dan Zubair, kalau kita langsung ngomong ke Umar dia tidak akan terima ngomong keputrinya saja hafsah, hafsah ngomong ke Umar “abah?” “kenapa?” “bagaimana kalau honor abah ditambah, ditingkatkan supaya hutang bisa ketutup?” “hafsah?” “saya abah?” “siapa yang nyuruh kamu ngomong begitu?” “tidak ada abah” “ada, saya tau ini, kalau tidak ada kamu tidak mungkin ngomong begitu, tapi orangnya kalau saya tuntut mereka mungkin tidak mau. Sekarang saya tanya hafsah, kaukan isteri rasul” “betul” “sekarang saya mau tanya, suamimu makannya apa? Daging?” “bukan, roti” “dan kalau tidurnya? Kasur empuk?” “bukan, kain kasar dan jika musim panas kami bentangkan dan jika musim dingin kami gunakan separuh buat tidur separuh buat selimut” “pakaian yang dibelikan untuk mu berapa banyak?” “hanya dua” “nah itu guru saya, orang yang paling saya cintai dan itu yang saya ikuti”. Bahkan setelah wafat, saydina Umar ini hutangnya ditanggungkan kepada anaknya Abdullah bin Umar dan itupun dilunasi dengan menjual rumahnya. Sehingga rumahnya itu disebut rumah bayar hutang, begitu kesederhanaannya jadi tidak pakai aji mumpung, mumpung jadi khalifah jadi kaya ikan gurita tangannya mana aja megang. Itu kesederhanaannya, kenapa kesederhanaan ini timbul? Karena sikap zuhudnya. Zuhud itu orang yang mengambil dunia hanya yang diperlukan dan lebih mengutamakan kehidupan akhirat. Watak zuhudnya yang sangat menonjol. Dialah panglima yang paling berani di medan perang, dialah imam yang paling khusyu’ di masjid dan tidak jarang jika dia shalat sendiri begitu membaca ayat yang menceritakan neraka nangis berurai air matanya. Jadi kesederhanaan dan ke zuhudan ini bukan lewat teori disampaikan oleh Umar, bukan lewat penataran seluruh aparat, tidak tetapi lewat contoh kongkrit, inilah saya contoh sederhana dan zuhud. Bagaimana saya bisa merasakan penderitaan rakyat kalau saya sendiri tidak pernah menderita. Maka tanpa penataran, tanpa up grading segala macam berhasil karena prinsip keteladanan. Beliau jadi contoh utama dan sumber utamanya adalah tidak lain dari nabi besar Muhammad saw.
            Yang ketiga sifat yang menonjol dari kekhalifahannya adalah adil. Kalau sudah bicara soal hukum dia tidak pernah kenal kompromi. Ada seorang pemuka nasrani masuk Islam, namanya jaballah bin Aiham. Ketika ia pergi haji, kain ihramnya keinjak orang arab yang hitam, badui. Jengkel, merasa bekas tokoh, enak aja ni orang udah jelek nginjak lagi. Ditempeleng orang tadi, orang ini lapor kepada Umar, “panggil Jaballah bin Aiham”. Datang jaballah bin Aiham, “kau ditampar? Tamparlah dia, tampar lagi” dipukul orang itu didepan saydina Umar. Jadi tidak kau ini bekas kepala suku, kau ini bekas orang terhormat, lalu ada kebijaksanaan yang tidak bijak sana. Kebijaksanaan yang diakhirnya jadi tidak bijak sana dan itu memang sudah dimulai dengan memblokir keluarganya. Tidak  satu keluarganyapun yang boleh mempunyai perasaan bahwa menjadi keluarga khalifah merupakan fasilitas dan keuntungan. Kau jangan makan diatas punggungku, kau jangan menikmati fasilitas diatas keringat ku dan tidak ada keinginan mewariskan jabatan khalifah kepada anak-anaknya. Pernah beliau musyawarah, “saya bingung” “kenapa khalifah?” “gubernur kufah ini sulit mencari orang, diangkat yang lemah rakyat ngeluh, diangkat yang keras rakyat juga ngeluh”. “ada calon khalifah, kalau ini tidak salah lagi buat gubernur kufah” “siapa?” “Abdullah bin Umar”. Anaknya sendiri, melotot matanya “jangan macam-macam kau, cukup satu orang Umar memegang jabatan ini. Kalau berhasil, kami keluarga Umar sudah merasakannya, kalau gagal cukup kegagalan seorang Umar”. Beliau tidak berusaha mengangkat anaknya, malah doblokir disuruh cari yang lain. “tapi Abdullah bin Umar cukup syarat ya khalifah, beliau adalah orang yang bertaqwa dan soleh” “yang taqwa dan soleh bukan hanya anak Umar, anak orang lain juga banyak yng taqwa dan soleh”. Itu prinsipnya, sehingga dengan ketegasannya ini membuat orang jadi sungkan dan tidak seorangpun orang berani kirim-kirim upeti, hadiah, pernah ada pejabat dari Azarbayan, kue mending apa, kue. Itu dicicipi enak “enak juga ya kue ini” “enak khalifah” “ini disana apa makanan rakyat biasa?” “bukan ini makanan orang-orang vip”. Dibungkus lagi itu kue, dibungkus “unta mu mana?” “diluar” “ambil, bawa pulang serahkan lagi kepada gubernur disana, kasih tau, salam dari Umar bin Khattab kenyangkan dulu rakyat dengan makanan yang seperti ini kita belakangan. Jadi jika rakyat lapar, saya orang pertama yang akan merasakan kelaparan, tapi kalau rakyat makmur biarlah saya menjadi orang terakhir yang kenyang. Kan bagus seperti itu jangan dibalik pada saat rakyat lapar dia kekenyangan dan selanjutnya. Sikap keadilannya ini yang menyebabkan hukum menjadi lebih berwibawa.
            Pernah beliau jalan-jalan di lorong kota Madinah, ditempat yang bernama harat bersama Aslaf. Ada ibu-ibu anaknya nangis “lapar mak, lapar mak” “sabar, dikit lagi mateng” katanya. Memang itu ibu lagi ngerebus, bunyi air mendidih “belebuk, belebuk”. Umar liati dari jauh, belum juga mateng, belum juga mateng, ini anak dari nangis, lapar sampai capek nangis, sampai lelah lapar sampai tidur. Si anak tidur Umar samperin “bu, emang masak apa sih buk, kok tidak bisa mateng?” “saya tidak masak apa-apa tuan” “nah itu yang sudah mendidih itu apaan?”. Ketika dibuka ya Cuma air saya. “subhanallah ibu, ibu sudah ngebohongi anak ibu sendiri” “habis harus bagaimana tuan? Saya sudah tidak punya makanan untuk dimasak, sementara perut tidak kenal kompromi, jalan satu-satunya ya terpaksa anak saya saya bohongi, saya bilang sebentar lagi matang sampai dia tidur sekarang ini” “memangnya khalifah Umar bagaimana sih mengurusi rakyatnya?” “subhanallah. Dia orang zalim. Dia yang memegang urusan kami tapi dia tidak tahu nasib saya, anak kelaparan, keluarga terlantar” “0h, begitu” “iya, zalim betul Umar bin Khattab itu” “kalau begitu ibu tunggu sebentar” dia pulang bersama Aslaf menuju baitul mal, diambil tepung satu karung, dipikul sendiri. Kata Aslaf “ya khalifah biar saya yang bawa?” “jangan!” “kenapa khalifah?” “apa kau kira kau sanggup memikul dosa saya di akhirat nanti?” “biar saya yang mikul sendiri” dia bawa ketempat itu ibu-ibu, dia masakin sendiri, “nah bu sudah matang persilahkan makan” makan. “alhamdulillah tuan, mudah-mudahan tuan diberkahi Allah. Tuan lebih baik dari Umar bin Khattab yang zalim itu, memang sebenarnya tuan siapa?” kata si ibu ini. “saya? Saya ya Umar bin Khattab yang ibu bilang zalim itu”. Gemetar si ibu, tapi memang peka dan menghargai keritik orang, tidak membungkam setiap orang yang nadanya sumbang atau berbeda. Beliau pernah berkata “saya khawatir kalau orang terlalu segan dengan saya lalu tidak ada yang berani negur kalau saya salah” kan begitu biasanya. Eh, tau-tau muncul orang “demi Allah saya akan menegur tuan dengan pedang saya ini”, cerah mukanya, senyum bibirnya, alhamdulillah. “anak muda saya memerlukan oran macam kau, yang berani berkata iya terhadap yang benar dan berkata tidak kepada yang tidak benar apa dan bagaimanapun resikonya”. Disini keliatan sikap beliau menghadapi terhadap orang yang berbeda pendapat. Keadilan, keberanian dan ketegasan, cepat menerima kebenaran merupakan serentetan dari sifat-sifat utama beliau sejak masuk Islam sampai menjadi khalifah yang kedua, bahkan berkat jasa beliau Islam kemudian tersebar menembus dinding jazirah Arabiah memasuki byzantium dan persia sehingga beliau juga dikenal dengan priode al-futuhat al islamiah.
            Inilah cuplikan kecil dari seorang agung dan besar dan memang sangat terbatas kata-kata untuk melukiskan kebesaran itu, namun yang secuplik ini mudah-mudahan menjadi sumbangan moril dalam rangka kita memperbaiki diri menuju ke kehidupan yang lebih baik.

3 komentar: