Di
dalam kehidupan ini kita senantiasa menngambil i’tibar, contoh dan teladan dari
orang-orang sebelum kita, itu sebabnya kepada baginda nabi kita Muhammad saw.
Allah swt. Menceritakan cerita para nabi sebelum beliau. Allah berfirman “demikianlah Kami ceritakan kepada mu wahai
Muhammad, sebagian dari kisah para rasul-rasul sebelum kamu, yang dengan itu
akan memperkuat hati mu, meneguhkan keyakinan mu dan memantapkan pendirian mu”.
Inilah manfaat belajar dari sejarah, jadi jangan kita baginda nabi sendiri pun
diceritakan sejarah para nabi sebelum beliau yang dimusuhi oleh umatnya, yang
dicaci-maki oleh kaumnya, yang terusir dari kampung halamannya, bahkan sampai
ada yang terbunuh oleh umatnya. Itu semua merupakan i’tibar untuk memantapkan
langkah mu, meneguhkan keyakinan mu dan menguatkan pendirian mu menghadapi
perjuangan ini.
Sehubungan
dengan itu al fakir ingin menyampaikan satu cuplikan kecil dari kehidupan
seorang sahabat utama baginda rasul yaitu saydina Umar ibn Khattab ra. Beliau
adalah Umar bin Khattab bin Nufain bin Abdul Uzza dari suku Quraisy golongan Bani Adl. Perawakannya kekar,
tinggi dan gagah melambangkan sifatnya yang pemberani, tegas dan tidak kenal
takut pada siapapun. Sebelum mendapat hidayah Umar bin Khattab termasuk berdiri
dibarisan orang-orang yang memusuhi umat Islam. Ia terperangkap dalam tradisi
jahiliyah. Dimana gemar berperang dan bermabuk-mabukan juga merupakan hal-hal
yang pernah dilaksanakan dalam kehidupannya sebelum beliau masuk dalam ke agama
Islam. Oleh karena itu dalam kehidupan beragama hidayah merupakan sesuatu yang
penting, bagaimanapun banyaknya dosa dan kesalahan yang telah dilakukan oleh
seseorang tidak seharusnya menyebabkan ia putus asa dari rahmat Allah.
Sebaliknya bagaimanapun banyaknya kebajikan dan kebaikan yang sudah
dikerjakannya tidak perlu membuatnya berbesar hati, puas, bangga apalagi
menjadi lalai karenanya, sebab kita belum tau bagaimana ujung perjalanan dari
kehidupan kita ini.
Kisah
Umar bin khattab masuk Islam pun merupakan peristiwa yang menarik. Pada suatu
hari dengan pedang terhunus, Umar bin Khattab menuju Darur Arkom tempat dimana
baginda nabi biasa berkumpul dengan para sahabat. Melihat mukanya yang
beringas, mata yang nanar, orang sudah menyangka dan mengerti ini tentu akan
menjadi pembunuhan. Dalam perjalanan menuju Darur Arkom, Umar bertemu dengan
Nu’aim bin Abdullah. Nu’aim bertanya “Ya Umar, mau kemana ente?” “Mau membunuh
itu, si murtad itu” “ si murtad yang mana?” “ yang mana lagi? Itu. Yang memecah
belah kita. Yang menghina berhala-berhala kita. Yang menjelek-jelekkan nenek
moyang dan keturunan kita. Siapa lagi kalau bukan Muhammad.” Kata Nu’aim “Umar,
ngga salah?” “Tidak salah lagi” “Salah Umar” “Salah kenapa?” “Apa kamu ngga
malu? Kamu mau pergi membunuh Muhammad, sementara adik mu sendiri Fatimah, dia
sudah termasuk salah seorang pengikut Muhammad.” Mendengar ini, muka yang
tadinya memang sudah marah, sudah marah dan merah, tambah jadi kelam. Bukan
main mangkelnya Umar bin Khattab. Orang lain dia musuhi, orang lain dia
kejar-kejar, ini adiknya sendiri menjadi pengikut baginda nabi. Tidak jadi
menuju Darur Arkom, dia berangkat kerumah adiknya Fatimah. Adapun di rumah
Fatimah sedang berkumpul, Fatimah, suaminya Sa’id bin Zaid dan seorang sahabat
Habab ibnul Arots. Mereka sedang membaca Quran. Waktu itu Quran belum lagi
dijilid seperti zaman sekarang, jadi masih merupakan suhuf atau
lembaran-lembaran saja. Diketuk pintu, ya tentu tidak mengucapkan salam kerena
dia belum Islam. ‘tok.. tok.. tok..’ “Siapa diluar?” “Umar!” mendengar suaranya
saja, ini sahabat yang namanya Habab Ibnul Arots sudah lari kebelakang pintu.
Sambil komat-kamit baca doa mohon diselamatkan oleh Allah. Adapun Fatimah yang
sedang memegang suhuf, lembarang tulisan al-quran itu, menyembunyikan suhuf itu
dibelakang bajunya. Umar masuk, “Fatimah!” “Saya bang” “Apa benar berita yang
saya dengar?” “Berita apa itu bang?” “Bahwa kau sudah masuk Islam?” “Bang?
Andai kata Muhammad memang benar, bagaimana?” “Sudahlah jangan berbelit-belit,
jawab saja kau masu Islam, benar atau tidak?” “Iya!” begitu dikatakan ‘iya’
tangannya langsung melayang, menampar muka adiknya ini, sehingga mengalir darah
dari hidungnya. Suaminya Sa’id bin Zaid yang mencoba melindungi istrinya
dipegang lehernya dibanting, diduduki dadanya. ‘Oo, ini jawarah ini’. Namun pada saat sedemikian, suara mkebenaran
terpantul dari mulut Fatimah, adik dari Umar bin Khattab ini. Umar! Apakah
engkau memukul orang yang bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad
rasulullah? Apakah engkau menganiaya seseorang yang terpanggil untuk mengikuti
kebenaran? Manusia macam apa engkau Umar?! Sodara, memang dia orang keras tapi
hatinya mudah menerima kebenaran sehingga mendengar kalimat adiknya ini
tercenung dia sejenak, melongok, bengong kata anak sekarang. Ini kalau tidak
dengan keyakinan yang mantap, tidak mungkin adik saya ini berbicara seperti
ini. Umar? Mengapa engkau memukul orang yang bersaksi bahwa tiada tuhan melainkan
Allah dan Muhammad rasulullah? Mengapa
engkau pukul orang yang mengikuti kebenaran hidayah dari Allah?. Begitu
yakindan mantapnya walaupun ditengah situasi yang sangat menakutkan. Siapa yang
tidak takut orang Quraisy berhadapan dengan Umar bin Khattab yang dikenal
sebagai singa padang pasir pada waktu itu. Malahan dia termasuk salah seorang
jagoan, di tradisi masyarakat jahiliyah itu ada satu pasar yang namanya pasar
ukas, tiap tahun dipasar itu diadakan pesta, pertama pertandingan syair, jadi
penyair pada waktu itu jadi kebanggaan. Syair-syair yang menang pada waktu itu
digantung di dinding Ka’bah. Jadi setiap suku akan bangga kalau mempunyai ahli
syair yang hebat. Lalu diadakan juga perlombaan balap kuda, memanah, termasuk
gulat. Umar ini tiap kali pertarungan pasti menang, belum pernah ada yang
berhasil mengalahkan dia. ‘Jawarah’ .
mendengar adiknya begitu mantap hatinya, apalagi adiknya berkata begitu, suhuf
lembaran yang tersembunyi dibelakang bajunya tersembul “Apa yang kau
sembunyikan dibalik baju mu ini?” “Suhuf” “Apa suhuf itu?” “Lembaran Al-quran”
“Coba saya lihat?” “Enggak boleh” “Kenapa?” “Kamu kotor, orang kotor tidak
boleh memegang Al-quran” “Saya mau
lihat?” “Enggak boleh. Kalau kamu mau lihat, mandi dulu” Diturutinya permintaan
adiknya itu. Lalu diambilnya suhuf tadi, dia baca. Kebetulan ayat yang
dibacanya, ayat pertama dari surah Thaha yang berlanjut dengan ayat empatbelas
pada surah yang sama. Dia baca “Bismillahi rahmani rahim. Thaha. Tidaklah Aku
turunkan Al-quran ini untuk bikin sukar manusia. Melainkan merupakan pengingat
bagi orang-orang yang takut kepada Allah.” Lalu pada ayat ke empatbelas
“Sesungguhnya Aku lah Allah. Tidak ada tuhan melainkan Aku. Maka hendaknya
hanya kepada Ku lah kamu menyembah. Dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.
Sesungguhnya kiamat itu pasti akan datang, yang sengaja waktunya tidak Kami
beritahukan kepada kamu semua untuk Kami balas segala setiap orang yang apa
saja yang telah mereka lakukan dalam kehidupan dunia ini”. Setelah membaca ayat
ini gemetar tangannya. Ah, ini sih ngga
main-main ini. Ini belum pernah saya baca ajaran yang semacam ini. Tidak patut
orang yang mempunyai kitab suci semacam ini dimusuhi. Ini sesuatu yang benar.
Tergetar jiwanya. “Hai, Fatimah beritahu aku dimana keberadaan Muhammad?” “Saya
tidak akan memberitahu kamu” “Dimana?!” “Saya tidak akan memberi tahu. Lebih
baik kamu bunuh saya kalau memang maksud mu mau mencelakakan Muhammad” “Sama
sekali saya tidak akan mencelakakan dia, Fatimah. Kasih tau saja dimana dia?!”
“Darur Arkom”. Bergegas dia menuju Darur Arkom.
Didalam
nabi memang sedang kumpul dengan para sahabat. Termasuk ada saydiana Hamzah
yang juga terkenal sebagai jawarah juga. Diketuklah pintu. “Siapa diluar?”
“Umar”. Didalam ini geger sebagian sahabat, umar datang ini pasti sebagai
bencana. Umar datang, kalau istilah kampung, wah keroklah ni urusan. Tapi
baginda nabi menenangkan mereka, “Tenang, mudah-mudahan ada hikmahnya.” Saydina
Hamzah tampil “Bukakan dia pintu. Kalau niatnya baik kita terima kalau niatnya
tidak baik, saya paling depan”. Di bukakan pintu. Begitu dibukakan pintu, Umar
masuk merangkul baginda nabi kemudian dengan tersendat “Ashaduallah ilaha
illallah wa ashaduanaka muhammad ya rasulullah”. Sahabat takbir semua. ALLAHU
AKBAR. ALLAHU AKBAR. Kegembiraan meliputi suasana ketika itu, kenapa karena
sebelumnya dikala Umar belum masuk Islam, dia merupakan ganjalan yang paling
dikhawatirkan oleh umat Islam. Setelah dia masuk Islam, jelas merupakan suatu
keuntungan yang sangat besar dam dia tertarik kepada Islam bukan karena bujuk
rayu orang, tidak karena diberikan harta, tidak karena diiming-imingi oleh
kedudukan tinggi tapi karena kebenaran, hidayah menembus hatinya melalui
wasillah ayat dalam surah Thaha yang dibacanya melalui suhuf yang dipegang oleh
adiknya tadi. Sejak saat itu berubah 180% Umar bin Khattab ra, tetapi tetap
dengan sifatnya keras, tegas dan tidak pernah kenal takut kepada siapapun. Cuma
pada sebelum Islam, dia kerasnya kepada Islam setelah dia masuk Islam muter
arah kepada siapapun yang memusuhi Islam dia bersikap keras, tegas dan tidak
pernah kenal takut. Bahkan setelah beliau masuk Islam, suatu hari ketika di
Darur Arkom kumpul-kumpul yaitu karena nabi belum berdakwah secara terbuka
karena pengikut masih sedikit. Saydiana Umar usul “Ya rasul, bukankah kita ini
berdiri diatas sesuatu yang benar? Bukankah hidup kita, mati kita untuk
melaksanakan sesuatu yang benar?” “Betul ya Umar. Demi Allah. Umar,
sesungguhnya kamu dan kita semua berdiri diatas kebenaran. Hidup ataupun mati”.
Setelah dapat jawaban seperti ini Umar masuk kepada tujuan pembicaraannya.
“Kalau memang begitu ya rasul, kalau memang kita yakin kita berdiri diatas
kebenaran, kita hidup diatas kebenaran, kita matipun karena memperjuangkan
kebenaran, kenapa harus bersembunyi-sembunyi? Demi Allah ya rasul, tuan harus
menyampaikan Islam ini secara terbuka dan kami akan mendampingi tuan dengan
segenap jiwa dan raga”. Sekali masuk Islam ngga tanggung-tanggung. Yang seperti
Umar ini yang kita perlukan sekarang ini. Begitu masuk Islam ngga tanggung,
seluruhnya jiwa dan raganya masuk Islam. Beliau yang pertama kali mengajukan
ide kenapa harus dakwah sembunyi ya rasul wong kita berdiri diatas kebenaran,
memperjuangkan segala sesuatu yang haq kalau pun kita mati kita mati dalam
membela kebenaran, kenapa mesti harus sembunyi-sembunyi? Mulai sekarang mari
mulai keluar ya rasul, saya akan dampingi tuan, nyawa saya taruhannya.
Selalu
dia di tempat-tempat dia melakukan maksiat sebelum dia Islam, selalu dia
kunjungi satu per satu sampai dia berkata tidak ada tempat sampai saya
melakukan kesalahan sebelum saya Islam yang harus saya tutupi dengan kebajikan
setelah saya berIslam sekarang ini. Bahkan ada satu riwayat menjelaskan beliau
itu yang tinggi badannya, kekar perawakannya gemetar orang menghadapi dia, tapi
beliau sendiri gemetar kalau sudah mendengar ayat-ayat Allah. Sehingga ada satu
riwayat menjelaskan saydina Umar itu setelah masuk Islam kalau shalat
kadang-kadang bila menoleh kekanan beliau senyum, bila menoleh kekiri beliau
menangis berurai air mata. Ada sahabat bertanya “Ya Umar? Kenapa bila menengok
kekanan kau senyum kekiri kau menangis?” “Itulah saya ingat begitu jahilnya
saya sebelum saya Islam. Adapun bola saya menoleh kekanan saya tersenyum
teringat betapa dulu saya membuat berhala dari korma, saya tumpuk-tumpuk saya
susun begitu rupa, setelah saya sembah saya makan itu korma. Gagah betul saya
waktu itu, sampai tuhan pun saya makan. Adapun kalau saya menoleh kekiri
teringat putri kesayangan saya yang terbawah oleh tradisi jahiliyah, takut
menanggung aib, merasa malu mempunyai anak perempuan sampai dia terkubur
hidup-hidup, berurai air mata saya mengingat semua itu padahal nabi sudah
memeberikan jaminan”. Sebab jangan lupa orang kafir masuk Islam, dalam Islam
itu dihitung dari bayi lagi, dari nol, itulah untungnya. Jadi misalnya sudah
enampuluh tahun, dari kecil sampai enampuluh tahun kafir, umur enampuluh satu
masuk Islam nah sejak umur enampuluh satu itulah yang dihisab oleh Allah.
Enampuluh tahun kebawah gratis, bersih, pemutihan. Istimewa betul tapi lalu
jangan diniatin, ah gua kafir aja ah, nanti sudah tua-tua mau giliran mati baru
masuk Islam. Nah itu diniatin lain ceritanya, ini yang karena faktor hidayah.
Nah cintanya kepada baginda nabi sangat luar biasa, dalam setiap pertempuran
beliau selalu di front terdepan. Bahkan demikian cintanya, sampai dimana ketika
hari dimana baginda nabi wafat, disampaikan berita wafat nabi kepada Umar ini,
“Ya Umar baginda nabi sudah wafat” “Kamu ngomong apa?!” “Baginda nabi sudah
wafat”. Bukan sedih malah nyabut pedang, keluar matanya melotot “Siapa yang
bilang Muhammad mati saya tebas batang lehernya”. Begitu cintanya beliau kepada
baginda nabi, sampai-sampai tidak menerima kalau nabi wafat. Taruhlah tidak
bisa mati bersamaan, bolehlah mati beriring-iringan kali saja maksudnya.
Dicabut pedang, kelayapan kemana-mana, “Ayo siapa yang ngomong Muhammad mati
saya tebas batang lehernya”. Sampai bertemu dengan saydina Abu Bakar ra, di
tempat orang banyak, saydina Abu Bakar yang bijaksana ini pidato “Wahai
manusia, barang siapa yang menyembah Muhammad, maka Muhammad sudah mati. Tetapi
barang siapa yang menyembah Allah. Allah akan hidup selamanya dan tidak akan
pernah mati”. Mendengar pidato ini saydina Umar sadar, bahwasanya yang tidak
pernah bisa mati itu ya cuma Allah. Bagaimanapun agungnya baginda nabi,
besarnya baginda nabi, tinggi akhlak dan budi pekertinya nabi, cintanya beliau
kepada nabi toh nabi manusia dan manusia, harus mati. Kemudian dibacakan surah
Ali Imran ayat 144 “Muhammad tidak lain daripada manusia, telah datang
kepadanya rasul, apakah jika ia mati engkau kembali menjadi murtad atau mundur
kebelakang”. Mendengar ayat ini dibacakan, saydina Umar sadar, berurai air
matanya, menangis dalam kesedihannya. Ini cintanya yang demikian tinggi kepada
baginda rasulullah saw. Begitulah, seluruh kesalahan yang dia lakukan pada saat
sebelum dia masuk Islam, berusaha dia tutupin dan dia tebus dengan segala
bentuk kebaikan, pengabdian, perbuatan soleh setelah dia masuk Islam. Sehingga
diajarakan oleh baginda nabi, “Bertaqwalah kamu kepada Allah. Dimanapun saja
kamu berada”. Kata baginda nabi. Jadi taqwa tidak kenal tempat, dimanapun saja
kamu berada bertaqwalah kepada Allah. Di rumah, taqwa. Di pasar, taqwa. Di
kantor, taqwa. Ditengah orang banyak, taqwa. Pada waktu sendirian, taqwa.
“Bertaqwalah kamu kepada Allah. Dimanapun saja kamu berada”. Jangan taqwa pakai
tempat, di masjid, taqwa, di kantor, nyolong. Itu tidak haisuma kunta yang
diajarkan oleh nabi, “Diamanapun kamu berada bertaqwalah kamu kepada Allah”.
Dan “Iringi perbuatan mu yang salah dengan kebaikan”. Jadi suatu saat terselip
kita berbuat salah, cepat iringi dengan kebaikan dengan harapan kebaikan yang
kita kerjakan akan menutupi dosa yang terselip kita lakukan. Ngomongin orang,
astghfirullah wal azim, banyak istighfar, istighfarnya mudah-mudahan bisa
nutupin dosa karena ngomongin orang. Tapi jangan lalu tambal sulam, ngomongin
orang, istighfar, terus ngomongin lagi, istighfar lagi, itu tentu tidak bisa
dilalukan dengan cara begitu. Barang kali terselip pernah mengambill harta
orang tanpa alasan yang haq, imbangi dengan rajin sadaqah misalnya. Barang kali
pernah menyakiti hati orang, imbangi dengan perbuatan yang bisa menyenangkan
hati orang lain. Itu namanya mengimbangi perbuatan yang bersifat salah dengan
kebajikan. Ini yang dilakukan loeh saydina Umar. Setiap pelosok hampir dia
datangi, tempat-tempat diamana dia pernah melakukan kesalahan sebelum masuk
Islam disana dia tegakkan kebajikan dan kebaikan, kegagahannya, keperkasaannya,
keberaniaannya semuanya sudah bulat-bulat diwakafkan untuk kepentingan Islam.
Saudara hadirin yang saya hormati, diperlukan orang-orang yang mempunyai
keberanian semacam saydina Umar, berani karena panggilan hidayah, bukan berani
babi, berani babi, berani juga babi, cuma nyeruduk, artinya berani yang tanpa
pertimbangan. Berani tanpa pertimbangan yang pada akhirnya akan menyulitkan
kita sendiri. Beliau gagah, beliau berani, beliau punya kekuatan, beliau punya
wewenang dan itu dimanfaatkannya untuk menjadi backing daripada baginda nabi
kita Muhammad saw. “saya minta maaf ya rasul. Hai rasul, keluar! Sampaikan
dakwah secara terbuka, saya akan mendampingi tuan. Jika ada yang ganggu tuan
saya yang paling depan”. Backing, backing yang mendampingi rasul untuk
menyampaikan risalah Islam ini.
Nabi
bersabda “Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik, karena dengan ini
kau bisa mengambil hati orang”. Dalam hadits lain dikatakan “Kamu tidak akan
menyenangkan orang banyak dengan harta mu, tapi kamu bisa ambil hati mereka
dengan budi perkerti yang luhur dan muka yang manis. Dengan harta belum tentu
kita bisa menyenangkan semua orang, tapi budi pekerti yang luhur, muka yang
manis itu yang bisa membuat engkau menyenangkan orang banyak. Setelah baginda
rasul wafat, pernah ketika berkumpul saydina Abu Bakar berkata kedapa saydina
Umar “Ya Umar, saya bai’at kamu untuk menjadi Khalifah” jawab beliau “Saya lah yang
akan membai’at tuan” “Tapi anda lebih utama dari saya Umar?” “Keutamaan saya,
saya akan berikan kepada tuan untuk mendukung kekhalifahan tuan”. Disini
kelihatan wataknya yang tidak ambisius, gagah, berani, perkasa tapi tau diri,
tidak nyelonong, tidak mrnggunakan kekuasaannya, kegagahannya untuk maksud yang
sewenang-wenang. Oleh karena itu, setelah saydina Abu Bakar wafat, beliau
dilantik menjadi khalifah keluarlah pidatonya yang terkenal “Hai manusia, aku
telah dipilih menjadi pemimpin kamu, padahal aku bukanlah orang yang terbaik
diantara kamu, kalau tidaklah aku melihat keutamaan, keteguhan yang dapat
melindungi kalian, berat rasanya aku memikul amanah ini. Sebab apa? Alangkah
beratnya menunggu perhitungan di akhirat nanti terhadap Umar”. Ini yang menjadi
motifnya memegang jabatan khalifah. Sungguh berat bagi Umar menunggu saatnya
perhitungan, sehingga kalau bisalah, jadi Umar bin Khattab saja jangan jadi
khalifah kalau bisa, tapi semua umat sudah terlanjur memilih. Sehingga benar
pada suatu hadits nabi pernah mengajarkan “Jangan memberikan suatu jabatan
kepada orang yang memintanya”. Sebab kalau orang sudah meminta jabatan, apalagi
kalau sudah pakai jilad-jilad, pakai upeti-upeti tentu ada tendensinya, ada
batu dibalik udang. Kalau udang dibalik batukan tidak kelihatan, tapi kalau
batu dibalik udang kelihatan betul itu. Ada maunya, ambisinya, jangan
memberikan suatu jabatan kepada orang yang memintanya. Seakan dibatinnya
saydina Umar menyesali, kenapa Umar tidak jadi Umar saja malah menjadi
khalifah, alangkah berat perhitungan buat saya di akhirat nanti. Setelah jadi
khalifah sebagai satu i’tibar, saya akan mengungkapkan beberapa sifatnya yang
menonjol untuk pelajaran pada kita semua.
Pertama
sifatnya terhadap keluarga setelah beliau menjadi khalifah. Kedudukan keluarga
Umar bin Khattab bukan kedudukan keluarga istimewa, itu ditanamkan betul kepada
keluarganya. Lalu jangan karena bapak mu khalifah, lalu mentang-mentang anak
khalifah kamu bisa dapat fasilitas, kamu bisa berbuat semau-mau mu, kau harus
punya tanggung jawab dan beban moril, memberikan contoh yang lebih baik kepada
rakyat, ini yang ditekankan kepada keluarganya. Kalau beliau mau mengeluarkan
undang-undang, undang-undang itu terlebih dahulu dibicarakan kepada
keluarganya, kumpul anak-anaknya, ini akan ada undang-undang begini, siapa
diantara kalian yang mau mentaati persilahkan, yang tidak pun persilahkan. Tapi
saya ingatkan, kalau ada dari keluarga Umar yang melanggar peratuaran yang saya
keluarkan ini, saya akan menghukumnya dua kali lipat karena dia keluarga saya.
“Menghukumnya dua kali lipat karena dia keluarga saya”. Jadi mentang-mentang
anak babe lalu kebal hukum, tidak. Siapa diantara kalian yang melanggar
peraturan ini, akan aku hukum dua kali lipat karena dia keluarga ku. Berwibawa
sekali ini, dijaga betul keluarganya. Suatu hari beliau datang ke rumah anaknya
Abdullah bin Umar, ketika masuk dilihatnya Abdullah bin Umar sedang makan
daging. Makan daging, melihatnya, merah muka Umar “Heh, mentang-mentang anak
khalifah ya? Mentang-mentang anak amirul mukminin ya kamu makan daging? Liat
tuh rakyat kita masih banyak yang kelaparan, makan roti keras”. Padahal itu
halal, sesuatu yang diperoleh dengan usahanya sendiri, tetapi begitu
hati-hatinya Umar untuk menjaga pandangan orang, keluargakhalifah merupakan
beban moril sebab akan menjadikan contoh oleh rakyatnya. Lain saat beliau pergi
ke suatu pasar, disitu dilihat sapinya gemuk-gemuk tempat lain sapinya
kurus-kurus. Ditanya “Ini yang gemuk-gemuk sapi siapa? Sapi Abdullah bin Umar”.
Sapi anaknya. “Panggil Abdullah bin Umar suruh kesini”. Datang anaknya,
“Abdullah bin Umar, bagaimana ceritanya sapi-sapi ini?” “Begini aba, dahulu
pakai uang saya, saya beli sapi, kurus-kurus. Lalu saya rawat, saya beri upah
orang untuk merawat sapi-sapi itu, tapi sekarang dia sudah menjadi gemuk, akan
saya jual dan keuntungannya merupakan sesuatu yang halal.” “Subhanallah” kata
Umar “Kau ini anak amirul mukminin. Jual sapi mu, ambil modalnya, untungnya
masukkan ke baitul mall, urus kepentingan umat Islam”. Dia tidak mau anaknya
terlibat bisnis mendompleng kekuasaan ayahnya. Lalu mentang-mentang anak
khalifah segala macam bisnis, lancar. Orang takut, karena apa? Anak babe. Ada
lagi, pada waktu pembagian harta ghanimah, putri beliau yang namanya Hafsah,
ini adalah isteri baginda nabi, meminta bagian, kaum kerabat, ayah ini kerabat
khalifah, kitalah dulu. “Kerabat? Kalau kau kerabat ku maka jatahmu nanti dari
ayah mu, harta ini masih banyak dibutuhkan oleh orang-orang islam, nanti
belakangan kalau ada sisanya”. Belakangan kalau ada sisanya? Itu terhadap
keluarga-keluarganya.
Lalu
apa sifat-sifat yang menonjol dari kepemimpinannya? Pertama kesederhanaannya.
Beliaulah satu-satunya khalifah, amirul mukminin, setingkat presiden kalau
sekarang, yang punya jubah cuma dua dan
yang yang satupun punya anaknya, tambelan lagi. Pernah shalat jum’at terlambat,
beliau naik mimbar sebelumnya minta maaf dulu “Saudara-saudara minta maaf saya
terlambat nungguin baju kering”. Seorang khalifah nungguin baju kering,
sederhana dalam kehidupannya. Mari kita ambil satu cerita lagi. Pada saat
beliau jadi khalifat, yang diangkat menjadi gubernur di Mesir adalah Amer bin
As. Amer bin As, hidupnya lebih mirip kaisar, istananya besar, pakaiannya
bagus-bagus. Pikiran yang paling menggangu Amer bin As, disebelah istananya ini
ada gubuk, reot, kepunyaan orang yahudi lagi. “Ah, tidak pantas sekali, masa
disamping istana gubernur ada gubuk reot, orang yahudi lagi yang punya. Ini
mesti.. ah, sudah, bikin saja rencana, panggil dinas tata kota, bikin rencana disini
mau dibikin masjid proyek negara. Bikin gambarnya, susun anggaranya, tender”.
Si yahudi yang punya gubuk reot dipanggil “Yahudi!” “Ada apa, pak?” “Kamu tau
tidak? Itu kamu punya gubuk kena proyek” “proyek apa pak?” “Kami mau bikin
masjid besar disitu dan tidak sesuai ada gubuk reot disamping tempat gubernur”
“Jadi maksu bapak?” “Gubukmu sama tanahnya mau saya bebaskan, saya beli” “Tidak
mau pak, saya tidak mau jual” “Saya bayar dua kali lipat” “tidak mau” “tiga
kali lipat!” “enam kali lipat juga tidak mau pak” “wong saya dari muda, peras
keringat, Cuma segitu-gitunya tempat itu pak walaupun Cuma gubuk reot dan
tanahnya sedikit, tapi makmur saya pak”. “Ah, ini yahudi sudah kelewatan juga”
akhirnya turun perintah “Yasudah, kalau dia tiadak taat perintah, gusur saja”.
Digusur, yahudi ini berurai air matanya. “Ah, begini jadi rakyat kecil, sudah
jatuh ketimpa tangga pula. Tapi pikir-pikir Amer bin As kan bukan yang paling
atas, iyakan Cuma pejabat masih ada atasannya lagi, lapor ah lapor”. Yahudi ini
berangkat ke Madinah, bayangkan dari Mesir ke Madinah. Disepanjang jalan dia
berpikir, berpikir membanding-banding “Kalau gubernurnya saja istananya begitu
mewah, apalagi pemimpinnya. Kalau gubernunya saja galak main gusur apalagi
khalifahnya dan saya bukan orang Islam apa ditanggapi jika mengadu?”. Berangkat
dia sambil harap-harap cemas. Sampai dipintu kota Madinah, iya temui orang yang
lagi tidur dibawah pohon kurma. “Selamat siang pak?” “Heh, ada apa?” “Anu pak”
“Anu apa?” “Mau lapor” “Lapor apa?” “Bapak tau khalifah Umar bin Khattab?”
“Tau” “Istananya dimana pak?” “Istananya diatas lumpur” “Pengawalnya pak?
Banyak?” “Banyak” “Siapa pak” “Yatimpiatu, janda-janda tua, orang-orang miskin,
orang-orang lemah itu pengawalnya” “Pakaian kebesarannya, apa sutra atau apa
pak?” “Pakaian kebesarannya malu dan taqwa” “Saya tidak ngerti pak” “Itulah
Umar bin Khattab” “Lalu orangnya sekarang dimana pak? “Didepan ente”. Rupanya
yang dia tanya itulah orangnya. Gemeter yahudi ini, keringatnya bercucuran.
Coba, istananya diatas lumpur, sebab beliau berprinsip, bagaimana saya bisa
menghayati nasib rakyat kalau saya tidak merasakana apa yang mereka rasakan,
bagaimana saya tau sakitnya lapar kalau saya belumpernah kelaparan. “Kamu dari
mana?” “Dari Mesir pak” “Ada apa?” “Mau laporan, gubernur bapak yang di Mesir
yang bernama Amer bin As” “Kenapa?” “Main gusur aja pak” “Ceritanya?” “Iya, dia
mau bangun masjid, kebetulan diarea itu, saya punya tanah sama guguk ya
segitu-gitunya, saya tidak mau dibeli, digusur pak, saya mau mencari keadilan”
“em, begini, kamu liat tempat sampah itu?” “liat pak” “disitu banyak tulang,
coba kamu ambil satu tulang unta bawa kesini”. Bingung si yahudi, “pak, saya
kesini mau cari keadilan, kalau di Mesir juga banyak pak” “sudahlah pokoknya
kau ambil saja tulang itu” diobrak-abriknya dapetlah satu tulang unta terus
dikasih ke saydina Umar lalu digaris luruslah oleh beliau ”nah, ini kau bawa
kepada Amer bin As”. Makin bingung itu yahudi, bawa tulang Cuma digaris. “nanti
saya ngomong apa pak” “sudahlah kasih saja”. Pulang dia, sampai di Mesir, “tuan
gubernur?” “ada apa?” “saya baru saja menghadap khalifah, kemudian dia ngasih
ini”. Dikasih tulang, Amer bin As melihat tulang ada garis lurus dengan ujung
pedang, gemeter dan keringat dingin lalu dia langsung menyuruh panggil kepala
proyek “hei, proyek batal, masjid tidak jadi didiriin, itu gubuk yahudi diriin
lagi”. Ini yahudi makin bengong, ini gubernur hanya dapet tulang begitu
takutnya. “ada apa sebenarnya tuan gubernur?” “kamu tau? Ini nasehat pait buat
saya dari amirul mukminin Umar bin Khattab, seolah-olah ia bilang ‘hai Amer bin
As, jangan mentang-mentang lagi berkuasa ya, pada suatu saat kamu akan jadi
tulang-tulang kaya begini. Maka mumpung kamu masih hidup dan berkuasa, berlaku
lurus dan adillah kamu seperti lurusnya garis diatas pedang ini. Lurus adil
jangan bengkok, sebab jika kamu bengkok maka nanti aku akan luruskan pakai
pedang ku’. Siapa yang tidak takut digituin, sampai akhirnya kata si yahudi
“pak berarti Islam begitu adil ya, kalau begitu tanah saya..” “mau kamu jual?”
“bukan saya jual, tapi saya kasih sajalah dan gubuk-gubuknya ambil sajalah”.
Masuk Islam si yahudi ini, oleh karena keadilan dari Umar bin Khattab.
Begitulah kesederhanaan hidupnya. Sampai yang ironi betul, pernah Ustman bin
Affan, Ali bin Abi Thalib, Talha dan Zubair kumpul mendengar berita bahwa
saydina Umar ini punya hutang. Bayangkan seorang khalifah untuk melangsungkan
hidupnya sampai punya hutang. Padahal baitul mall berada dibawah kekuasaannya.
Berunding Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Talha dan Zubair, kalau kita
langsung ngomong ke Umar dia tidak akan terima ngomong keputrinya saja hafsah,
hafsah ngomong ke Umar “abah?” “kenapa?” “bagaimana kalau honor abah ditambah,
ditingkatkan supaya hutang bisa ketutup?” “hafsah?” “saya abah?” “siapa yang
nyuruh kamu ngomong begitu?” “tidak ada abah” “ada, saya tau ini, kalau tidak
ada kamu tidak mungkin ngomong begitu, tapi orangnya kalau saya tuntut mereka
mungkin tidak mau. Sekarang saya tanya hafsah, kaukan isteri rasul” “betul”
“sekarang saya mau tanya, suamimu makannya apa? Daging?” “bukan, roti” “dan
kalau tidurnya? Kasur empuk?” “bukan, kain kasar dan jika musim panas kami
bentangkan dan jika musim dingin kami gunakan separuh buat tidur separuh buat
selimut” “pakaian yang dibelikan untuk mu berapa banyak?” “hanya dua” “nah itu
guru saya, orang yang paling saya cintai dan itu yang saya ikuti”. Bahkan
setelah wafat, saydina Umar ini hutangnya ditanggungkan kepada anaknya Abdullah
bin Umar dan itupun dilunasi dengan menjual rumahnya. Sehingga rumahnya itu
disebut rumah bayar hutang, begitu kesederhanaannya jadi tidak pakai aji
mumpung, mumpung jadi khalifah jadi kaya ikan gurita tangannya mana aja megang.
Itu kesederhanaannya, kenapa kesederhanaan ini timbul? Karena sikap zuhudnya.
Zuhud itu orang yang mengambil dunia hanya yang diperlukan dan lebih
mengutamakan kehidupan akhirat. Watak zuhudnya yang sangat menonjol. Dialah
panglima yang paling berani di medan perang, dialah imam yang paling khusyu’ di
masjid dan tidak jarang jika dia shalat sendiri begitu membaca ayat yang
menceritakan neraka nangis berurai air matanya. Jadi kesederhanaan dan ke
zuhudan ini bukan lewat teori disampaikan oleh Umar, bukan lewat penataran
seluruh aparat, tidak tetapi lewat contoh kongkrit, inilah saya contoh
sederhana dan zuhud. Bagaimana saya bisa merasakan penderitaan rakyat kalau
saya sendiri tidak pernah menderita. Maka tanpa penataran, tanpa up grading
segala macam berhasil karena prinsip keteladanan. Beliau jadi contoh utama dan
sumber utamanya adalah tidak lain dari nabi besar Muhammad saw.
Yang
ketiga sifat yang menonjol dari kekhalifahannya adalah adil. Kalau sudah bicara
soal hukum dia tidak pernah kenal kompromi. Ada seorang pemuka nasrani masuk
Islam, namanya jaballah bin Aiham. Ketika ia pergi haji, kain ihramnya keinjak
orang arab yang hitam, badui. Jengkel, merasa bekas tokoh, enak aja ni orang
udah jelek nginjak lagi. Ditempeleng orang tadi, orang ini lapor kepada Umar,
“panggil Jaballah bin Aiham”. Datang jaballah bin Aiham, “kau ditampar? Tamparlah
dia, tampar lagi” dipukul orang itu didepan saydina Umar. Jadi tidak kau ini
bekas kepala suku, kau ini bekas orang terhormat, lalu ada kebijaksanaan yang
tidak bijak sana. Kebijaksanaan yang diakhirnya jadi tidak bijak sana dan itu
memang sudah dimulai dengan memblokir keluarganya. Tidak satu keluarganyapun yang boleh mempunyai
perasaan bahwa menjadi keluarga khalifah merupakan fasilitas dan keuntungan.
Kau jangan makan diatas punggungku, kau jangan menikmati fasilitas diatas
keringat ku dan tidak ada keinginan mewariskan jabatan khalifah kepada
anak-anaknya. Pernah beliau musyawarah, “saya bingung” “kenapa khalifah?”
“gubernur kufah ini sulit mencari orang, diangkat yang lemah rakyat ngeluh,
diangkat yang keras rakyat juga ngeluh”. “ada calon khalifah, kalau ini tidak
salah lagi buat gubernur kufah” “siapa?” “Abdullah bin Umar”. Anaknya sendiri,
melotot matanya “jangan macam-macam kau, cukup satu orang Umar memegang jabatan
ini. Kalau berhasil, kami keluarga Umar sudah merasakannya, kalau gagal cukup
kegagalan seorang Umar”. Beliau tidak berusaha mengangkat anaknya, malah
doblokir disuruh cari yang lain. “tapi Abdullah bin Umar cukup syarat ya
khalifah, beliau adalah orang yang bertaqwa dan soleh” “yang taqwa dan soleh
bukan hanya anak Umar, anak orang lain juga banyak yng taqwa dan soleh”. Itu
prinsipnya, sehingga dengan ketegasannya ini membuat orang jadi sungkan dan
tidak seorangpun orang berani kirim-kirim upeti, hadiah, pernah ada pejabat
dari Azarbayan, kue mending apa, kue. Itu dicicipi enak “enak juga ya kue ini”
“enak khalifah” “ini disana apa makanan rakyat biasa?” “bukan ini makanan
orang-orang vip”. Dibungkus lagi itu kue, dibungkus “unta mu mana?” “diluar”
“ambil, bawa pulang serahkan lagi kepada gubernur disana, kasih tau, salam dari
Umar bin Khattab kenyangkan dulu rakyat dengan makanan yang seperti ini kita
belakangan. Jadi jika rakyat lapar, saya orang pertama yang akan merasakan
kelaparan, tapi kalau rakyat makmur biarlah saya menjadi orang terakhir yang
kenyang. Kan bagus seperti itu jangan dibalik pada saat rakyat lapar dia
kekenyangan dan selanjutnya. Sikap keadilannya ini yang menyebabkan hukum
menjadi lebih berwibawa.
Pernah
beliau jalan-jalan di lorong kota Madinah, ditempat yang bernama harat bersama
Aslaf. Ada ibu-ibu anaknya nangis “lapar mak, lapar mak” “sabar, dikit lagi
mateng” katanya. Memang itu ibu lagi ngerebus, bunyi air mendidih “belebuk,
belebuk”. Umar liati dari jauh, belum juga mateng, belum juga mateng, ini anak
dari nangis, lapar sampai capek nangis, sampai lelah lapar sampai tidur. Si
anak tidur Umar samperin “bu, emang masak apa sih buk, kok tidak bisa mateng?”
“saya tidak masak apa-apa tuan” “nah itu yang sudah mendidih itu apaan?”.
Ketika dibuka ya Cuma air saya. “subhanallah ibu, ibu sudah ngebohongi anak ibu
sendiri” “habis harus bagaimana tuan? Saya sudah tidak punya makanan untuk
dimasak, sementara perut tidak kenal kompromi, jalan satu-satunya ya terpaksa
anak saya saya bohongi, saya bilang sebentar lagi matang sampai dia tidur
sekarang ini” “memangnya khalifah Umar bagaimana sih mengurusi rakyatnya?”
“subhanallah. Dia orang zalim. Dia yang memegang urusan kami tapi dia tidak
tahu nasib saya, anak kelaparan, keluarga terlantar” “0h, begitu” “iya, zalim
betul Umar bin Khattab itu” “kalau begitu ibu tunggu sebentar” dia pulang
bersama Aslaf menuju baitul mal, diambil tepung satu karung, dipikul sendiri.
Kata Aslaf “ya khalifah biar saya yang bawa?” “jangan!” “kenapa khalifah?” “apa
kau kira kau sanggup memikul dosa saya di akhirat nanti?” “biar saya yang mikul
sendiri” dia bawa ketempat itu ibu-ibu, dia masakin sendiri, “nah bu sudah
matang persilahkan makan” makan. “alhamdulillah tuan, mudah-mudahan tuan
diberkahi Allah. Tuan lebih baik dari Umar bin Khattab yang zalim itu, memang
sebenarnya tuan siapa?” kata si ibu ini. “saya? Saya ya Umar bin Khattab yang
ibu bilang zalim itu”. Gemetar si ibu, tapi memang peka dan menghargai keritik
orang, tidak membungkam setiap orang yang nadanya sumbang atau berbeda. Beliau
pernah berkata “saya khawatir kalau orang terlalu segan dengan saya lalu tidak
ada yang berani negur kalau saya salah” kan begitu biasanya. Eh, tau-tau muncul
orang “demi Allah saya akan menegur tuan dengan pedang saya ini”, cerah
mukanya, senyum bibirnya, alhamdulillah. “anak muda saya memerlukan oran macam
kau, yang berani berkata iya terhadap yang benar dan berkata tidak kepada yang
tidak benar apa dan bagaimanapun resikonya”. Disini keliatan sikap beliau
menghadapi terhadap orang yang berbeda pendapat. Keadilan, keberanian dan
ketegasan, cepat menerima kebenaran merupakan serentetan dari sifat-sifat utama
beliau sejak masuk Islam sampai menjadi khalifah yang kedua, bahkan berkat jasa
beliau Islam kemudian tersebar menembus dinding jazirah Arabiah memasuki
byzantium dan persia sehingga beliau juga dikenal dengan priode al-futuhat al
islamiah.
Inilah
cuplikan kecil dari seorang agung dan besar dan memang sangat terbatas
kata-kata untuk melukiskan kebesaran itu, namun yang secuplik ini mudah-mudahan
menjadi sumbangan moril dalam rangka kita memperbaiki diri menuju ke kehidupan
yang lebih baik.